Kamis, 13 Maret 2014

BUMN SEBAGAI PEMUNGUT PPN

Dalam dunia Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM), transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan Pemungut PPN memiliki perlakuan/karakteristik yang berbeda dengan transaksi dengan selain pemungut PPN. Ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan transaksi dengan Pemungut PPN, maka penanganan PPN dan PPnBM nya tidak bisa disamakan dengan transaksi dengan bukan pemungut PPN. Terkadang PKP yang bertransaksi dengan pemungut PPN, mengganggap semua pajaknya sudah beres, padahal ada beberapa transaksi yang dikecualikan dari pemungutan PPN meskipun lawan transaksinya adalah pemungut PPN.
Pemungut PPN saat ini ada tiga pihak. Namun pada artikel saya ini hanya akan membahas satu saja yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemungut PPN. 

 

DASAR HUKUM BUMN SEBAGAI PEMUNGUT PPN DAN PPnBM

  1. Pasal 16A Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM (berlaku sejak 1 April 2010).
  2. PMK-85/PMK.03/2012  (berlaku sejak 1 Juli 2012) sebagaimana telah diubah terakhir dengan  PMK-136/PMK.03/2012 berlaku sejak 16 Agustus 2012) tentang Penunjukan BUMN untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM, serta Tata Cara Pemungutan, dan Pelaporannya.
  3. SE-45/PJ/2012 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan PMK-85/PMK.03/2012 sttd PMK-136/PMK.03/2012.

SEKILAS HISTORIS BUMN SEBAGAI PEMUNGUT PPN

BUMN sebagai Pemungut PPN sebenarnya bukan barang baru. BUMN pernah ditunjuk sebagai Pemungut PPN berdasarkan KMK-547/KMK.04/2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. KMK-547/KMK.04/2000 ini dicabut dengan KMK-563/KMK.03/2003 (berlaku sejak 1 Januari 2004). Dengan berlakunya KMK-563/KMK.03/2003, BUMN tidak lagi ditunjuk sebagai Pemungut PPN. BUMN ditunjuk kembali sebagai Pemungut PPN dengan diberlakukannya PMK-85/PMK.03/2012 sttd PMK-136/PMK.03/2012. Dengan demikian terdapat periode dimana BUMN bukan pemungut PPN yaitu sejak tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 30 Juni 2012.

SIAPAKAH BUMN ?

Beberapa perusahaan-perusahaan yang menyandang status sebagai BUMN sudah tidak asing ditelinga kita. Pertamina, Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Telkom, Adhi Karya merupakan beberapa contoh BUMN. Masih banyak perusahaan BUMN lainnya. Lebih rinci mengenai perusahaan-perusahaan yang tergolong BUMN, pembaca bisa lihat di www.bumn.go.id.
Apabila dilihat di peraturan perpajakan yang ada, Pasal 1 ayat (1) PMK-85/PMK.03/2012 menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Adapun kriteria BUMN yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN adalah (SE-45/PJ/2012):
  1. BUMN memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, tidak termasuk anak perusahaan dan joint operation atau bentuk kerja sama lainnya.
  2. Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan saham yang menyebabkan suatu badan usaha tidak lagi memenuhi kriteria sebagai BUMN, maka terhitung sejak tanggal akta yang menyatakan perubahan kepemilikan tersebut, badan usaha yang bersangkutan secara otomatis tidak lagi ditunjuk menjadi Pemungut PPN. Namun demikian, kewajiban menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang telah dipungut dalam Masa Pajak yang bersangkutan tetap dilakukan sebagaimana mestinya.
  3. Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan saham yang menyebabkan suatu badan usaha menjadi memenuhi kriteria sebagai BUMN, maka terhitung sejak tanggal akta yang menyatakan perubahan kepemilikan tersebut, badan usaha dimaksud secara otomatis ditunjuk menjadi Pemungut PPN dan melakukan kewajiban sebagai Pemungut PPN.

TRANSAKSI YANG DIKECUALIKAN DARI PEMUNGUTAN OLEH BUMN

Prinsip dasar suatu pemungutan adalah PPN yang terutang atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak akan akan dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh si Pemungut. Namun demikian tidak semua transaksi dengan pemungut PPN akan dilakukan pemungutan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PMK-85?PMK.03/2012, terdapat 6 jenis transaksi yang tidak dilakukan pemungutan oleh Pemungut BUMN yaitu :
  1. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
  2. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
  3. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
  4. pembayaran atas rekening telepon; (SE-45/PJ/2012: yang dimaksud rekening telepon adalah tagihan atas penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi ke konsumen akhir. Tagihan atas penyerahan jasa selain tersebut di atas yang dilakukan ke sesama perusahaan telekomunikasi antara lain berupa sewa jaringan, sewa satelit, dan jasa interkoneksi, tidak termasuk dalam pengertian rekening telepon).
  5. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
  6. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Atas transaksi-transaksi yang dikecualikan dari pemungutan PPN sebagaimana disebutkan diatas, maka PPN atau PPnBM yang terutang akan dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sendiri (tidak mengikuri prinsip pemungutan). Kode transaksinyapun pada Faktur Pajak, tidak menggunakan kode “03”.
Selain keenam transaksi yang dikecualikan dari pemungutan PPN diatas. PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP dari BUMN kepada BUMN tidak dikecualikan dari pemungutan sehingga BUMN yang menerima BKP dan/atau JKP tetap melakukan kewajiban memungut PPN atau PPN dan PPnBM sesuai ketentuan.

 

SEKILAS TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN

  1. Kewajiban PKP Rekanan

  2. PKP Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada BUMN. Faktur Pajak menggunakan kode transaksi “03” dan dibuat rangka 2 (dua) dengan peruntukan lembar kesatu untuk BUMN dan lembar kedua untuk rekanan. Faktur Pajak tersebut harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan/atau JKP; penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP; atau penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan. PKP rekanan juga dapat membuat satu faktur pajak (faktur pajak gabungan) untuk seluruh penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan kepada BUMN yang sama selama 1 (satu) bulan kalender yang harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
    Untuk transaksi yang dikecualikan dari pemungutan PPN, maka PKP rekanan menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi selain “03”. Misalkan :
    1. Suatu transaksi dengan pemungut PPN dimana DPP ditambah PPN dan PPnBM sudah diatas Rp. 10 juta, maka PPN dan PPnBM yang terutang dipungut oleh BUMN dan PKP rekanan membuat faktur pajak dengan menggunakan kode transaksi “03”.
    2. Sebaliknya apabilla nilai DPP ditambah PPN dan PPnBM tidak melebihi Rp. 10 juta, maka PPN dan PPnBM yang terutang dipungut oleh PKP rekanan. Selanjutnya PKP rekanan membuat faktur pajak dengan menggunakan kode transaksi “01”.
    SSP diisi dengan NPWP serta identitas rekanan dan ditandatangani oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan. Kode akun pajak dan kode jenis setoran pada SSP diisi dengan 411211 – 900. SSP dibuat rangkap 4 (empat) dengan peruntukaan :
    • Lembar kesatu untuk rekanan
    • Lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos
    • Lembar ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN, dan
    • Lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor pos.
  3. Kewajiban BUMN Selaku Pemungut

  4. PPN yang harus dipungut oleh BUMN adalah 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang PPN juga terutang PPnBM, jumlah PPnBM yang harus dipungut oleh BUMN adalah sebesar tarif PPnBM yang berlaku dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.
    BUMN harus membubuhkan cap “Disetor Tanggal ………… “ dan menandatanganinya pada Faktur Pajak yang dibuat PKP Rekanan. BUMN Pemungut wajib menyetorkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut ke kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya menggunakan SSP yang sudah dibuat oleh PKP Rekanan. Tanggal jatuh tempo penyetoran ini tidak mengacu pada tanggal penerbitan faktur pajak oleh PKP rekanan sehingga apabila BUMN terlambat melakukan penyetoran yang disebabkan karena keterlambatan PKP rekanan menerbitkan Faktur Pajak, maka atas keterlambatan itu tetap dikenakan sanksi sesuai ketentuan perpajakan.
    Pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM tersebut selanjutnya dilaporkan menggunakan SPT 1107 PUT (dalam bentuk e-SPT) ke KPP tempat BUMN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. SPT 1107 PUT tersebut wajib dilampiri dengan daftar nominative Faktur Pajak dan SSP. Apabila dalam suatu bulan BUMN tidak melakukan pemungutan PPN dan PPnBM sebagai Pemungut PPN, maka BUMN tetap wajib menyampaikan SPT Masa PPN Formulir 1107 PUT dan diisi dengan angka 0 (Nol). BUMN sebagai Pemungut PPN yang berstatus PKP, mempunyai kewajiban pelaporan PPN dan PPnBM dengan Formulir 1111 dan Formulir 1107 PUT setiap bulan.
Demikian corat-coret saya tentang BUMN sebagai Pemungut PPN, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...