Minggu, 29 Desember 2013

PERMINTAAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor:PER-24/PJ/2012 yang mulai berlaku 1 April 2013 membawa suatu perombakan pada penomoran Faktur Pajak. Nomor seri Faktur Pajak yang dulunya berdasarkan PER-65/PJ/2010 terdiri dari 8 digit dan ditentukann sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kini berdasarkan PER-24/PJ/2012 berubah menjadi 13 digit dan diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Nomor seri Faktur Pajak berdasarkan PER-24/PJ/2012 diperoleh dengan mengajukan permohonan kode aktivasi dan password kemudian dilanjutkan dengan permintaan nomor seri faktur.

PERMOHONAN KODE AKTIVASI DAN PASSWORD
Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mendapatkan kode aktivasi dan password adalah sebagai berikut :
  1. PKP mengajukan surat permohonan Kode Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan. 
  2. Surat permohonan Kode Aktivasi dan Password harus diisi dengan lengkap dan disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan. 
  3. Proses di Kantor Pelayanan paling lama 3 hari kerja. Kode aktivasi dan password akan diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam hal PKP memenuhi syarat yaitu :
    1. PKP telah dilakukan Registrasi Ulang PKP oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 dan perubahannya dan laporan hasil registrasi ulang/verifikasi menyatakan PKP tetap dikukuhkan; atau  
    2. PKP telah dilakukan verifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012
    Surat pemberitahuan Kode Aktivasi akan dikirim melalui pos dalam amplop tertutup ke alamat PKP sementara password akan dikirm melalui surat elektronik (email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password. Dalam hal PKP tidak memenuhi syarat sebagaimana huruf a dan b diatas, Kantor Pelayanan Pajak akan menerbitkan surat pemberitahuan penolakan Kode Aktivasi dan Password.
  4. Dalam hal surat pemberitahuan Kode Aktivasi dan surat pemberitahuan penolakan tidak diterima oleh PKP dan kembali pos (kempos), Kantor Pelayanan Pajak akan memberitahukan informasi tersebut melalui surat elektronik (email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password.
  5. Dalam hal PKP tidak menerima Password karena kesalahan penulisan alamat email pada Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password, PKP harus mengajukan permohonan update email. 
  6. Surat pemberitahuan Kode Aktivasi yang hilang dapat dimintakan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan fotokopi surat keterangan kehilangan dari kepolisian dan bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak atas surat permohonan Kode Aktivasi dan Password. 
  7. Dalam hal PKP pindah tempat kegiatan usaha yang wilayah kerjanya berada di luar wilayah Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan sebelumnya, maka PKP yang bersangkutan harus mengajukan permohonan Kode Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak yang membawahi tempat kegiatan usaha PKP yang baru dengan menunjukkan asli pemberitahuan Kode Aktivasi dari Kantor Pelayanan Pajak sebelumnya. 
PERMINTAAN NOMOR SERI 
Setelah PKP memiliki kode aktivasi dan password, maka langkah PKP selanjutnya adalah mengajukan permintaan nomor seri. Hal-hal yang harus dilakukan adalah :
  1. PKP menyampaikan surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan. 
  2. Surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak harus diisi secara lengkap dan disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan.
  3. Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak ke PKP yang telah memenuhi syarat sebagai berikut : 
    • Telah memiliki Kode Aktivasi dan Password; dan 
    • Telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.
  4. Surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang hilang, rusak, atau tidak tercetak dengan jelas, dapat dimintakan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menunjukkan surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak. 
  5. Dalam hal PKP pindah tempat kegiatan usaha yang wilayah kerjanya berada di luar wilayah Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan sebelumnya, maka PKP masih dapat menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang belum digunakan.
Sekian dulu, Semoga bermanfaat.

TATA CARA PENGISIAN FAKTUR PAJAK

Sebagaimana kita ketahui bahwa Faktur Pajak dapat dikatakan memenuhi syarat formal apabila diisi dengan lengkap, jelas, dan benar yaitu Faktur Pajak harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau JKP yang paling sedikit memuat :
  1. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
  2. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
  3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  7. Nama dan tanda-tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak tidak menjadi masalah. Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga dapat menambahkan keterangan lain pada Faktur Pajak selain keterangan sebagaimana angka 1 s.d 7 diatas. Berikut akan kita pelajari lebih jauh bagaimana cara mengisi Faktur Pajak agar memenuhi syarat formal. Tata cara pengisian Faktur Pajak yang dibahas disini adalah tata cara pengisian Faktur Pajak sejak 1 April 2013 (berdasarkan PER-08/PJ/2013). Meskipun PMK-84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak telah dicabut dengan PMK-151/PMK.03/2013, namun berdasarkan Pasal 21 huruf b PMK-151/PMK.03/2013, peraturan pelaksanaan dari PMK-84/PMK.03/2012 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PMK-151/PMK.03/2013.
Perlu diketahui. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, dan benar  serta tidak ditandatangani oleh PKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap. Faktur Pajak Tidak Lengkap menimbulkan konsekuensi sebagai berikut :
  1. Bagi PKP Penerbit Faktur Pajak (penjual) dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai Pasal 14 ayat (4) UU KUP. Dikecualikan dari pengenaan sanksi ini dalam hal Faktur Pajak tidak memuat keterangan mengenai :
    • Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP; atau 
    • Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP, serta nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk PKP Pedagang Eceran.
  2. Bagi PKP Penerima Faktur Pajak (pembeli), PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak dapat dikreditkan.
PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan PPnBM.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-151/PMK.03/2013 (berlaku sejak 1 Januari 2014). 
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-08/PJ/2013 Tentang Perubahan PER-24/PJ/2012. (berlaku sejak 1 April 2013).
KODE DAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK
Sebelum membahas lebih jauh ketentuan mengenai Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak, perlu diperjelas bahwa ketentuan mengenai Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang akan dibahas dibawah ini tidak berlaku untuk PKP Pedagang Eceran (Pasal 18 ayat 2 PER-24/PJ/2012).
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu 2 (dua) digit Kode Transaksi, 1 (satu) digit Kode Status; dan 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 
A. Kode Transaksi
  1. Kode Transaksi diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. Kode 01. Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN dan PPN nya dipungut oleh PKP penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Kode ini digunakan dalam hal bukan merupakan jenis penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode 04 sampai dengan kode 09.
    2. Kode 02. Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN Bendahara Pemerintah yang PPN nya dipungut oleh pemungut PPN Bendahara Pemerintah
    3. Kode 03. Digunakan  untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN lainnya (selain bendahara pemerintah) yang PPN nya dipungut oleh Pemungut PPN lainnya selain bendahara pemerintah.
      Pemungut PPN lainnya adalah Kontraktok Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas, Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang ijin pengusahaan sumber daya panas bumi, BUMN atau WP lainnya yang ditunjuk sebagai pemungut PPN, termasuk perusahaan yang tunduk terhadap Kontrak Karya Pertambangan yang di dalam kontrak tersebut secara lex specialist ditunjuk sebagai pemungut PPN.
    4. Kode 04. Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan DPP nilai lain yang PPN nya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP
    5. Kode 05. Kode ini tidak digunakan lagi
    6. Kode 06. Digunakan untuk penyerahan lainnya yang PPN nya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, dan penyerahan kepada Orang Pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 E UU PPN.
      Kode ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP selain jenis penyerahan pada kode 01 sampai dengan 04 dan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri, antara lain :
      • Penyerahan yang menggunakan tarif selain 10%
      • Penyerahan hasil tembakau yang dibuat didalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau.
      • Penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) oleh PKP Toko Retail yang ditunjuk, terkait dengan penerbitan Faktur Pajak Khusus
    7. Kode 07. Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau ditanggung pemerintah (DTP). Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut atau ditanggung pemerintah (DTP), berdasarkan peraturan khusus yang berlaku, antara lain :
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB).
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Avtur Untuk Keperluan Penerbangan Internasional.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Toko Bebas Bea.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati Di Dalam Negeri.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Pengawasan Atas Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
    8. Kode 08. Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara lain :
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      • Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya.
    9. Kode 09. Digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D yang PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP.
  2. Penyerahan yang menggunakan kode transaksi "01" adalah penyerahan yang terutang PPN dan PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang jenis penyerahannya tidak termasuk dalam kategori :
    1. penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain (Kode 04);
    2. penyerahan lainnya dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) (Kode 06); dan/atau
    3. penyerahan aktiva pasal 16D (Kode 09).
  3. Penyerahan yang menggunakan Kode Transaksi "02" atau "03" adalah penyerahan kepada Pemungut PPN yang PPNnya dipungut oleh Pemungut PPN, termasuk atas penyerahan dalam kategori:
    1. penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain (Kode 04);
    2. penyerahan lainnya dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) (Kode 06); dan/atau
    3. penyerahan aktiva pasal 16D (Kode 09).
  4. Dalam hal atas penyerahan kepada pemungut PPN, PPN yang terutang dikecualikan dari pemungutan oleh Pemungut PPN, maka kode transaksi yang digunakan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 diatas.
  5. Penyerahan yang mendapat fasilitas PPN tetap menggunakan kode transaksi "07" atau "08" termasuk penyerahan kepada pemungut PPN.
Untuk mempermudah pemahaman penggunaan kode transaksi, berikut saya buatkan bagan prioritas penggunaan kode transaksi. Bagan ini mungkin akan berguna ketika menemukan suatu transaksi yang masuk ke dalam dua kode transaksi atau lebih. Misalnya transaksi berupa penyerahan BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan kepada pemungut PPN apakah menggunakan kode 08 atau kode 02 ?.

B. Kode Status
Kode status diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. 0 (nol) untuk status normal;
  2. 1 (satu) untuk status penggantian.
Dalam hal diterbitkan Faktur Pajak Pengganti ke-2, ke-3, dan seterusnya, maka Kode Status yang digunakan adalah Kode Status "1".

C. Nomor Seri Faktur Papak
Nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 11 (sebelas) digit nomot urut yang dipisahkan oleh 2 (dua) digit tahun penerbitan. Nomor seri ini diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Untuk mendapatkan nomor seri ini, PKP harus mengajukan permohonan yang terdiri dari Permohonan Kode Aktivasi dan Password kemudian mengajukan permintaan nomor seri Faktur Pajak.
Satu nomor seri hanya bisa digunakan untuk satu Faktur Pajak. PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.

IDENTITAS PKP 
Diisi dengan nama, alamat, dan NPWP PKP yang menyerahkan dan/atau menerima BKP dan/atau JKP, sesuai dengan keterangan dalam Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP), khusus untuk alamat diisi dengan alamat lengkap tempat domisili dan/atau tempat kegiatan usaha PKP menurut keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya pada saat Faktur Pajak dibuat.
Penulisan alamat lazimnya didahului dengan nama jalan diikuti dengan nomor, RT/RW, nama desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan diakhiri dengan kode pos. Dalam hal terdapat kawasan/area, misalnya apartemen, gedung perkantoran, atau kompleks perumahan, maka ditulis nama kawasan/area tersebut sebelum nama jalan. Dikecualikan dari tata cara penulisan alamat di atas dalam hal suatu alamat keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya tidak mempunyai nama jalan atau tidak berada di suatu jalan tertentu dan tidak mempunyai nomor maka penulisan alamat hanya mencantumkan RT/RW, nama desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan diakhiri dengan kode pos.
Dalam hal alamat PKP yang sebenarnya atau sesungguhnya berbeda dengan alamat dalam Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus memberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan untuk meminta perubahan alamat dalam Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Pengukuhan PKP agar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya. 

PENGISIAN BKP DAN/ATAU JKP
  1. Nomor Urut diisi dengan nomor urut dari BKP dan/atau JKP yang diserahkan.
  2. Nama BKP/JKP. Diisi dengan jenis BKP dan/atau JKP yang diserahkan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya. Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin atau cicilan, kolom Nama Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ditambah dengan keterangan, misalnya Uang Muka, atau Termin, atau Angsuran, atas pembelian Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak. Dalam hal diketahui jumlah unit atau satuan tertentu lainnya, Pengusaha Kena Pajak harus menambahkan keterangan jumlah unit atau satuan tertentu lainnya tersebut atas Barang Kena Pajak yang diserahkan
  3. Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin.
    • Diisi dengan Harga Jual atau Penggantian atas Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan sebelum dikurangi Uang Muka atau Termin.
    • Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin, maka yang menjadi dasar penghitungan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Uang Muka atau Termin yang bersangkutan.
    • Dalam hal pembayaran Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dilakukan dengan menggunakan mata uang asing, maka hanya baris "Dasar Pengenaan Pajak" dan baris "PPN= 10% X Dasar Pengenaan Pajak" yang harus dikonversikan ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.
    • Dalam hal keterangan Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak dapat:
      1. Membuat lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak yang masing-masing harus menggunakan Kode, Nomor Seri, dan tanggal Faktur Pajak yang sama, serta ditandatangani dan diberi keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian jumlah, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, dan Pajak Pertambahan Nilai cukup diisi pada Faktur Pajak paling akhir; atau
      2. Membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang menunjuk nomor dan tanggal Faktur-Faktur Penjualan yang merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Faktur Pajak tersebut, Faktur Penjualan yang bersangkutan harus diisi dengan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
NAMA DAN TANDATANGAN 
Diisi dengan nama dan tandatangan PKP atau pejabat/pegawai (sesuai dengan kartu identitas yang sah, yaitu Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, atau Paspor, yang berlaku pada saat Faktur Pajak ditandatangani) yang telah ditunjuk oleh PKP untuk menandatangani Faktur Pajak, yang telah diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan, paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak pejabat/pegawai yang ditunjuk tersebut menandatangani Faktur Pajak. Cap tanda tangan atau scan tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada Faktur Pajak.

Sekian, semoga bermanfaat.

Rabu, 25 Desember 2013

PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Pada Implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kita akan sering mendengar/membaca istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah subyek Pajak PPN dan PPnBM. Sebagai Subyek Pajak, Status sebagai PKP memegang peran penting dalam mekanisme pengenaan PPN. 

PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai
  4.  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-20/PJ/2013  tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan PKP. Penghapusan NPWP dan Pencabutan PKP, Serrta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak
DEFINISI
Pada Pasal 1 angka 15 UU PPN telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. Dari definisi tersebut setidaknya ada 2 hal yang perlu dipahami lebih jauh yaitu Pengusaha dan Penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenai PPN.
Definisi pengusaha sebagaimana Pasal 1 angka 14 UU PPN adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Pasal 1 angka 13 UU PPN)
Pada Pasal 3 PP Nomor 1 Tahun 2012 juga disebutkan bahwa bentuk kerja sama operasi merupakan bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana pengertian badan pada Pasal 1 angka 13 UU PPN).

KAPAN SAATNYA DIKUKUHKAN SEBAGAI PKP ?
Saat untuk dikukuhkan sebagai PKP dapat dipilah menjadi dua yaitu Saat yang sifatnya Wajib dan saat yang sifatnya Optional. untuk memahami mana yang wajib dan optional mari kita lihat Pasal 3A ayat (1) UU PPN:
"Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang".
Dengan demikian, Pengukuhan sebagai PKP sifatnya Wajib bagi Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam daerah pabean serta Eskpor (BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud, dan JKP) yang penerimaan bruto dan/atau peredaran brutonya sudah melebihi batasan pengusaha kecil. Pengusaha kecil berdasarkan PMK-68/PMK.03/2010 adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600 juta. Kewajiban untuk mendaftarkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp. 600 juta.
Pengukuhan sebagai PKP bagi pengusaha kecil sifatnya optional. Pengusaha kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP atau tidak. Bahkan pengusaha yang belum sama sekali melakukan aktifitas penyerahanpun dapat (optional) mendaftarkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
"Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf  f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak" (Pasal 2 ayat (2) PP 1 Tahun 2012).
KEWAJIBAN PKP
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak memiliki kewajiban :
  1. Memungut PPN atau PPN dan PPnBM dengan menggunakan Faktur Pajak
  2. Menyetor PPN atau PPN dan PPnBM dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
  3. Melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN)
TATA CARA PENDAFTARAN PKP
Permohonan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak menggunakan formulir permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan secara eletronik atau secara tertulis. Permohonan secara elektronik dilakukan dengan menggunakan aplikasi E-Registration yang tersedia pada Web Pajak www.pajak.go.id. Permohonan secara tertulis dilakukan dengan mengisi dan menandatangani formulir pengukuhan Pengusaha Kena Pajak untuk kemudian disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP atau KP2KP) secara langsung atau dikirim melalui pos atau jasa ekspedisi.
Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah :
  1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
    • Fotokopi KTP bagi Warga Negara Indonesia, atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) bagi Warga Negara Asing, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;
    • Fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
    • Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
  2. Untuk Wajib Pajak Badan
    • Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
    • Fotokopi kartu NPWP salah satu pengurus, atau fotokopi paspos dan surat keterangan tempat tinggal dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing
    • Fotokopi dokumen izin usaha dan/atau kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
    • Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa
  3. Untuk Wajib Pajak Badan Bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation)
    • Fotokopu perjanjian kerjasama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (Joint Operation), yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;
    • Fotokopi kartu NPWP masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP;
    • Fotokopi kartu NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (Joint  Operation), atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing;
    • Fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
    • Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa bagi Wajib Pajak badan dalam negeri maupun Wajib Pajak badan asing.
PENCABUTAN PKP
Pencabutan  Pengukuhan PKP dapat dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan oleh DJP. Kondisi-kondisi yang bisa dijadikan dasar pencabutan PKP adalah :
  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
  2. PKP yang tidak diketahui keberadaan dan/atau kegiatan usahanya;
  3. PKP yang menyalahgunakan pengukuhan PKP;
  4. PKP pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain;
  5. PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP
  6. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya PPN di tempat lain; atau
  7. PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subyektif dan/atau obyektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Permohonan pencabutan pengukuhan PKP dilakukan dengan menggunakan formulir permohonan pencabutan PKP secara elektronik melalui aplikasi e-Registration yang tersedia pada www.pajak.go.id atau secara tertulis. Permohonan pencabutan pengukuhan PKP secara tertulis dapat disampaikan langsung ke KPP atau dikirim melalui pos atau jasa ekspedisi.

Sekian, semoga bermanfaat.

Minggu, 22 Desember 2013

PEMAKAIAN SENDIRI BKP DAN/ATAU JKP

Pemakaian sendiri merupakan salah satu bentuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN dan/atau PPnBM sebagaimana disebutkan pada Pasal 1A ayat (1) huruf d UU Nomor 42 Tahun 2009. apa yang dimaksud dengan pemakaian sendiri dan bagaimana perlakuan perpajakannya khususnya dari sisi PPN ? Mari kita lihat pembahasannya. (Berlaku untuk pemakaian sendiri sejak berlakunya PP Nomor 1 Tahun 2012 tanggal 4 Januari 2012).

PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-22/PJ/2012 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ/2002 tentang Pengenaan PPN dan PPnBM atas Pemakaian Sendiri  dan/atau Pemberian Cuma-Cuma BKP dan/atau JKP.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-38/PMK.011/2013 tentang Perubahan atas PMK-75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
DEFINISI
Disebutkan dalam memori penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN serta memori penjelasan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012 bahwa yang dimaksud dengan pemakaian sendiri adalah pemakaian BKP dan/atau JKP untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Pemakaian sendiri selanjutnya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
  1. Pemakaian Sendiri untuk tujuan produktif
  2. Yang dimaksud dengan pemakaian sendiri pemakaian sendiri untuk tujuan produktif adalah pemakaian BKP dan/atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
    Contoh Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:
    • Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pembakaran boiler dalam proses pabrikasi
    • Pabrikan kayu lapis (Plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (Plywood) untuk membungkus kayu lapis yang akan dipasarkan agar tidak rusak
    • Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.
    Contoh pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan :
    • Pabrikan truk menggunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang
    • Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
    • Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

  3. Pemakaian Sendiri untuk tujuan konsumtif 
  4. Yang dimaksud dengan pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif adalah pemakaian BKP dan/atau JKP yang tidak ada kaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersaangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
    Contoh Pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif :
    • Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu
    • Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada karyawannya
    • Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para direksinya.
ASPEK PPN
Pemakaian sendiri baik untuk tujuan produktif maupun tujuan konsumtif sama-sama terutang PPN. Namun demikian pemakain sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan PPN kecuali pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang :
  1. Tidak terutang PPN; atau
  2. Mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.
Contoh:
Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk :
  1. truk yang digunakan untuk pengangkutan ban produksinya; dan
  2. kendaraan angkutan umumnya.
Pada contoh pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana angka 1 tidak dilakukan pemnugutan PPN sementara contoh pada angka 2 tetap dipungut PPN karena digunakan untuk penyerahan jasa angkutan umum yang merupakan penyerahan yang tidak terutang PPN. Bagan Aspek PPN atas Pemakaian Sendiri adalah sebagai berikut :

Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif yang tidak dilakukan pemungutan PPN dikecualikan dari penerbitan Faktur Pajak (sesuai Pasal 8 PMK-151/PMK.03/2013). Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk pemakaian sendiri adalah harga jual/penggantian setelah dikurangi laba kotor.

Sekian dulu, semoga bermanfaat.

Sabtu, 21 Desember 2013

SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK

Berikut akan coba saya uraikan secara singkat saat dan tempat pajak terutang untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Saat terutang PPN dan PPnBM akan erat kaitannya dengan saat pembuatan Faktur Pajak.

PERATURAN PERPAJAKAN
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.

SAAT PAJAK TERUTANG

Disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (1) UU PPN, PPN terutang pada saat:
  1. Penyerahan Barang Kena Pajak
  2. Impor Barang Kena Pajak
  3. Penyerahan  Jasa Kena Pajak
  4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean
  5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean
  6. Ekspor BKP Berwujud
  7. Ekspor BKP tidak berwujud
  8. Ekspor JKP 
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU PPN menegaskan bahwa dalam menentukan saat PPN terutang, UU PPN menganut prinsip akrual. Artinya PPN sudah terutang ketika penyerahan BKP atau JKP meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BJP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean, saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran. Di dalam Pasal 17 PP Nomor 1 Tahun 2012, saat PPN terutang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
  1. Saat Penyerahan BKP
    Saat penyerahan BKP dibedakan berdasarkan jenis BKP nya sebagai berikut :

    No
    Jenis BKP
    Saat Penyerahan
    1
    BKP berwujud berupa barang bergerak
    1. Saat diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli.
    2. Saat diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemberian Cuma-Cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antar cabang.
    3. Saat diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
    4. Harga atas penyerahan BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten
    2
    BKP berwujud berupa barang tidak bergerak
    Saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP tersebut, secara hukum atau secara nyata kepada pembeli
    3
    BKP tidak berwujud
    1.  Harga diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.atau
    2.   Kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana angka 1 tidak diketahui.
    4
    BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi.
    1.   Ditandatangani akta pembubaran oleh notaris
    2.   Berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam anggaran dasar.
    3.   Tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan.
    4. Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
    5
    BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN atau perubahan bentuk usaha
    1.  Disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai hasil RUPS yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan,   pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha. Atau
    2.   Ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh notaris.

  2. Saat Impor BKP terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam daerah pabean
  3. Saat penyerahan JKP terjadi saat :
    • Harga atas penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
    • Kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak diketahui; atau
    • Mulai tersediannya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian Cuma-Cuma atau pemakaian sendiri JKP.
  4. Saat pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean terjadi saat:
    • Harga perolehan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
    • Harga jual BKP tidak berwujud dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
    • Harga perolehan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
    • Tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean sebagaimana angka 1 s.d 3 tidak diketahui.
  5. Saat ekspor BKP berwujud terjadi pada saat BKP dikeluarkan dari daerah pabean.
  6. Saat ekspor BKP tidak berwujud terjadi saat penggantian atau BKP tidak berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
  7. Saat ekspor JKP terjadi saat penggantian atau jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

TEMPAT PAJAK TERUTANG
Atas penyerahan BKP di dalam daeah pabean, Penyerahan JKP di dalam daerah pabean, Ekspor BKP Berwujud, Ekspor BKP tidak berwujud, dan Ekspor JKP, PPN terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Ditegaskan pada Memori penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU PPN :
  1. PKP orang pribadi terutang PPN di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi PKP badan terutang PPN di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
  2. Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukanya, setiap tempat tersebut merupakan tempat PPN terutang dan PKP tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
  3. Apabila PKP mempunyai lebih dari satu tempat PPN terutang yang berada di wilayah kerja satu Kantor DJP, untuk seluruh tempat terutang tersebut, PKP memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat PPN terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila PKP tersebut menghendaki lebih dari satu tempat PPN terutang, PKP wajib memberitahukan kepada DJP.
Contoh 1 :
Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong, karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Contoh 2 :
PT A mempunyai 3 (tiga) tempat melakukan kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan dan Manna yang ketiganya berada dibawah pelayanan 1 (satu) Kantor Pelayanan Pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha, untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut. 
Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.

Atas impor BKP, PPN terutang di tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui DJBC.

Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabeaa, PPN terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...