Sabtu, 17 Mei 2014

MENGKUASAKAN PELAKSANAAN HAK DAN/ATAU KEWAJIBAN PERPAJAKAN

Sebuah perusahaan PT X dengan peredaran usaha tahun pajak terakhir hampir Rp. 6 Milyar. Tuan A sebagai pemilik perusahaan tercatat sebagai pengurus perusahaan dengan posisi direktur sebagaimana dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan form 1771-V Bagian B. Namun karena Tuan A tidak bisa secara intens hadir di kantor PT X karena mengurusi bisnis lain di Kota lain, maka tuan A mendelegasikan beberapa kewenangan kepada Tuan B selaku operasional manager termasuk menangani hak dan/atau melaksanakan kewajiban perpajakan PT X. Untuk itu Tuan A memberikan surat kuasa kepada Tuan B. Dari sudut pandang bisnis saya pikir pendelegasian tersebut tidak ada masalah namun bagaimana dari sisi perpajakan ? Apakah memungkinkan bagi Tuan B untuk menjadi kuasa dari Tuan A dalam menangani pelaksanaan hak dan/atau kewajiban Perpajakan PT X ? Kita akan segera tau jawabannya.
KISAH LAIN: Tuan C sudah DANDAN GAGAH dan SIAP DENGAN MATERI mau menghadap AR buat konseling mewakili TUAN D, trus ditanya sama AR, maaf Tuan C, boleh saya lihat surat kuasa nya dari Tuan D ???? JEDEEEERR ,, (Tuan C ga punya surat kuasa dari Tuan D). Tuan C ga jadi bahas konseling malah ngomongin JAGOANNYA DI PIALA DUNIA 2014.

PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT

  1. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP)
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-22/PMK.03/2008
  3. Surat Edaran Nomor: SE-16/PJ/2008

WAKIL WAJIB PAJAK

Subyek pajak dibedakan menjadi subyek pajak orang pribadi, warisan yang belum terbagi, dan subyek pajak badan. Subyek pajak badan memiliki berbagai macam bentuk seperti Perseroan Terbatasm (PT), CV, Perseroan lainnya, BUMN, BUMD, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Ormas, Orsospol, Lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk Kontrak Investasi Kolektif dan BUT. Untuk subyek pajak orang pribadi sudah jelas bahwa pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya dilaksanakan oleh orang pribadi tersebut. Bagaimana dengan subyek pajak warisan atau badan ? Badan atau warisan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakannya sendiri, dibutuhkan wakil yang akan melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakan subyek pajak tersebut. Diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Wajib Pajak diwakili dalam hal :
  1. badan oleh pengurus;
  2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
  3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
  4. badan dalam liquidasi oleh liquidator;
  5. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
  6. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
Wakil sebagaimana disebutkan diatas, bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

 

KUASA WAJIB PAJAK

Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan/atau kewajiban perpajakan sesuai ketentuan. Untuk dapat menjadi kuasa dengan surat kuasa khusus harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  2. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir;
  3. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; dan
  4. memiliki Surat Kuasa Khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran l PMK-22/PMK.03/2008.
Untuk syarat pada angka 1, 2, dan 4 saya kira cukup mudah dipahami, memiliki NPWP bisa dibuktikan dengan memiliki kartu NPWP, telah menyampaikan SPT Tahunan bisa dibuktikan dengan adanya bukti pelaporan/tanda terima pelaporan SPT Tahunan. Nah untuk yang syarat nomor 3 ini agak-agak sulit nih karena menyangkut “isi kepala” . Pada dasarnya seorang kuasa bisa berprofesi sebagai konsultan pajak atau bukan konsultan pajak. Bukan konsultan pajak disini termasuk juga karyawan Wajib Pajak. Terkait dengan ketentuan/syarat menjadi kuasa sebagaimana angka 3 diatas, Pasal 3 PMK-22/PMK.03/2008 mengatur sebagai berikut :
  1. Dalam hal seorang kuasa bukan konsultan pajak, persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh Perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III yang dibuktikan dengan menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah.
  2. Dalam hal seorang kuasa adalah konsultan pajak, persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan kepemilikan Surat Izin Praktek Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dan menyerahkan fotokopi Surat Izin Praktek Konsultan Pajak yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan Sebagai Konsultan Pajak dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PMK-22/PMK.03/2008.
Seseorang yang bukan konsultan pajak memiliki ruang yang lebih sempit untuk dapat ditunjuk sebagai kuasa Wajib Pajak dibandingkan dengan seseorang yang konsultan pajak karena berdasarkan ketentuan pasal 4 PMK-22/PMK.03/2008, seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya dapat menerima kuasa dari :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun; atau
  3. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari dari Rp 2.400.000.000,00 (dua miliar empat ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun.
Karyawan wajib pajak yang dimaksud disini adalah karyawan tetap yang telah menerima penghasilan dari Wajib Pajak pemberi kuasa yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III PMK-22/PMK.03/2008.

HAK DAN KEWAJIBAN KUASA

Seorang kuasa yang akan mewakili pemberi kuasa dalam melaksanakan hak dan/atau kewajiban perpajakan pemberi kuasa harus memenuhi syarat sebagai kuasa sebagaimana sudah dijabarkan diatas. Ada ketentuan yang melarang pegawai DJP untuk menindaklanjuti pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang memberikan kuasa kepada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kuasa Wajib Pajak. Perlu diketahui juga bahwa 1 surat kuasa khusus hanya berlaku untuk satu pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu saja. Jadi apabila seorang kuasa menerima kuasa untuk mengurus SPT Tahunan dan mengurus proses keberatan maka surat kuasa khususnya dibuat masing-masing. 
Dalam melaksanakan tugas sebagai seorang kuasa, ada beberapa aturan maen sebagaimana diatus dalam PMK-22/PMK.03/2008:
  1. Seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain.
  2. Seorang kuasa dapat menunjuk orang lain atau karyawannya terbatas untuk menyampaikan dokumen-dokumen dan/atau menerima dokumen-dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui tempat pelayanan terpadu.
  3. Orang lain atau karyawan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 2, wajib menyerahkan Surat Penunjukan dari seorang kuasa pada saat melaksanakan tugasnya sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan ini.
  4. Seorang kuasa mempunyai hak dan/atau kewajiban yang sama dengan Wajib Pajak terbatas pada pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu sebagaimana tercantum dalam surat kuasa khusus.
  5. Seorang kuasa wajib memberi bantuan, penjelasan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu Wajib Pajak yang memberikan kuasa kepadanya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  6. Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu, seorang kuasa diwajibkan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
  7. Seorang kuasa tidak diperbolehkan melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa dalam hal seorang kuasa pada saat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu :
    1. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
    2. menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; atau
    3. dipidana karena melakukan tindakan pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya.
    Dalam hal seorang kuasa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan c, Wajib Pajak pemberi kuasa wajib melaksanakan sendiri hak dan/atau kewajiban yang dikuasakan atau menunjuk seorang kuasa lain dengan surat kuasa khusus.
Lantas Apakah Tuan B dapat mewakili/menjadi kuasa Tuan A dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT X, pembaca pasti sudah tau jawabannya. Akhir kata, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca.

Senin, 21 April 2014

PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI

Beberapa Wajib Pajak pernah mengalami yang namanya pemeriksaan pajak. Salah satu hasil dari pemeriksaan pajak tersebut bisa berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan/atau Surat Tagihan Pajak yang didalamnya terdapat nilai rupiah jumlah pajak yang kurang dibayar dan sanksi administrasi yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak adalah hak/wewenang DJP namun demikian Undang-undang perpajakan juga membuat suatu sistem untuk mengawasi pelaksanaan hak/wewenang DJP tersebut guna memberikan perlindungan kepada Wajib Pajak dari kesalahan yang dilakukan DJP dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak tersebut. Perlindungan tersebut diberikan dalam bentuk hak untuk mengajukan keberatan, banding, peninjauan kembali, gugatan, pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak yang tidak benar, dan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya.
Pada artikel kali ini saya akan mulai dengan pembahasan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Secara singkat, prosedur pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi ini diperuntukkan untuk Wajib Pajak yang dikenakan sanksi administrasi dimana sanksi administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak

PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT

  1. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sttd Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak

RUANG LINGKUP PASAL 36 UNDANG-UNDANG KUP

Sebagaimana diatur pada Pasal 36 UU KUP, Pasal 35 Ayat (1) PP 74 Tahun 2011, dan Pasal 2 PMK-8/PMK03/2013, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
  3. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
  4. membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
    1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; dan/atau
    2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak.
Permohonan wajib pajak sebagaimana angka 1 s.d 4 dilakukan dengan menyampaikan surat permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung, pos dengan bukti pengiriman surat tercatat, perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, atau e-filling.

PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI

  1. SUBSTANSI PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI
  2. Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi:
    1. sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP. SKPKB Pasal 13A Undang-Undang KUP adalah SKPKB yang diterbitkan kepada Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Sanksi administrasi berupa kenaikan yang dikenakan berdasarkan Pasal 13A UU KUP adalah 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Permohonan pengurangan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut :
      • tidak diajukan keberatan, diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut, atau diajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan;
      • tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar atau diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
      • tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi tetapi dicabut oleh Wajib Pajak, atau diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi tetapi permohonan tersebut ditolak.
    2. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP. Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 25 Ayat (9) UU KUP adalah Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan kepada Wajib Pajak yang permohonan keberatannya ditolak atau dikabulkan sebagian, untuk menagih sanksi administrasi berupa denda 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP adalah Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan kepada Wajib Pajak yang permohonan bandingnya ditolak atau dikabulkan sebagian, untuk menagiah sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak hanya dapat diajukan dalam hal surat ketetapan pajak yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak tersebut:
      • tidak diajukan keberatan, diajukan keberatan tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut, atau diajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan;
      • tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar atau diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
      • tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi tetapi dicabut oleh Wajib Pajak, atau diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi tetapi permohonan tersebut ditolak.
      • Surat Tagihan Pajak tersebut tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar atau Surat Tagihan Pajak tersebut diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
    3. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b. Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak hanya dapat diajukan dalam hal:
      • Surat Tagihan Pajak tersebut tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar; atau
      • Surat Tagihan Pajak tersebut diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.

  3. SYARAT PERMOHONAN
  4. Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, kecuali permohonan tersebut diajukan untuk Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP, sepanjang terkait dengan surat ketetapan pajak yang sama maka 1 (satu) permohonan dapat diajukan untuk lebih dari satu Surat Tagihan Pajak;
    2. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
    3. mengemukakan jumlah sanksi administrasi menurut Wajib Pajak dengan disertai alasan;
    4. permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
    5. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
    Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi dapat diajukan oleh wajib pajak paling banyak 2 kali. Untuk permohonan yang kedua harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN

DJP harus memberikan keputusan atas pemohonan WP dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima. Keputusan DJP tersebut dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.

Demikian coretan saya kali ini tentang Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi. Semoga bermanfaat kiranya bagi pembaca.

Sabtu, 19 April 2014

PENGHAPUSAN NPWP

Artikel ini sebenarnya adalah kebalikan dari artikel saya sebelumnya berjudul “Mudah dan Cepat Cari NPWP”. Pada artikel tersebut saya membahas mengenai pendaftaran NPWP, pada artikel ini saya akan membahas mengenai penghapusan NPWP.
Acuan dalam menentukan kapan saatnya Wajib Pajak harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan kapan saatnya Wajib Pajak dapat mengajukan penghapusan NPWP adalah pemenuhan syarat subyektif dan obyektif. Apabila Wajib Pajak telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif tersebut maka dia wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak sudah tidak lagi memenuhi syarat subyektif dan/atau obyektif maka dia dapat mengajukan penghapusan NPWP. Syarat subyektif terkait dengan ketentuan mengenai subyek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 2A UU PPh. Di Dalam Pasal 2 UU PPh, subyek pajak terdiri dari orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, dan Bentuk Usaha Tetap. Subyek Pajak kemudian dibedakan menjadi subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri. Syarat obyektif adalah pernyaratan bagi subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau kewajiban untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan UU PPh.

PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-38/PJ/2013 Tentang Perubahan PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan PKP, Penghapusan NPWP dan Pencabutan PKP, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak

PROSES PENGHAPUSAN NPWP

Inisiatif proses penghapusan NPWP dapat berasal dari permohonan Wajib Pajak sendiri atau DJP sendiri (secara jabatan). Permohonan penghapusan NPWP dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
  1. Secara elektronik dengan mengisi formulir penghapusan NPWP pada aplikasi e-registration yang tersedia pada laman www.pajak.go.id. Dokumen yang disyaratkan harus disampaikan dalam jangka waktu 14 hari kerja setelah penyampaian permohonan penghapusan secara elektronik. Pengiriman dokumen yang disyaratkan tersebut dapat dilakukan dengan cara upload salinan digital dokumen melalui aplikasi e-registration atau mengirimkannya dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen.
  2. Menyampaikan permohonan secara tertulis dengan mengisi dan menandatangani formulir penghapusan NPWP. Permohonan disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan datang langsung ke KPP, melalui KP2KP, dikirim melalui pos atau dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir.
Penghapusan NPWP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau jabatan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan atau hasil verifikasi. KPP akan melakukan penghapusan NPWP (ditandai dengan penerbitan Surat Keputusan Penghapusan NPWP) dalam hal:
  1. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terdapat rekomendasi penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
  2. tidak terdapat utang pajak, atau terdapat utang pajak tetapi:
    1. penagihannya sudah daluwarsa;
    2. Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan;atau
    3. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan;
  3. tidak terdapat proses hukum atau proses administrasi berupa :
    1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
    2. gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang KUP;
    3. keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang KUP;
    4. banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP;
    5. pengurangan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP; dan
    6. peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan Pajak.
  4. seluruh Nomor Pokok Wajib Pajak cabang Wajib Pajak telah dihapus, dalam hal penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan terhadap Nomor Pokok Wajib Pajak pusat.
Penerbitan Surat Keputusan Penghapusan NPWP dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Bukti Penerimaan Surat dalam hal permohonan diajukan oleh Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Bukti Penerimaan Surat dalam hal permohonan diajukan oleh Wajib Pajak badan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan KPP menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 6 bulan atau 12 bulan tersebut berakhir.

PEMERIKSAAN OR VERIFIKASI  

Apakah proses penghapusan NPWP melalui pemeriksaan atau verifikasi ditentukan oleh kondisi-kondisi wajib pajak yang menjadi dasar/alasan penghapusan NPWP. Berikut adalah kondisi-kondisi Wajib Pajak yang proses penghapusan NPWP-nya melalui mekanisme verifikasi :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
  2. Wajib Pajak bendahara pemerintah yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena yang bersangkutan sudah tidak lagi melakukan pembayaran;
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
  4. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak untuk menentukan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dapat digunakan sebagai sarana administratif dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  5. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai yang telah diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak melalui pemberi kerja/bendahara pemerintah dan penghasilan netonya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak;
  6. Wajib Pajak badan kantor perwakilan perusahaan asing yang tidak mempunyai kewajiban Pajak Penghasilan badan dan telah menghentikan kegiatan usahanya;
  7. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi;
  8. Wanita yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya;
  9. Wanita kawin yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak berbeda dengan Nomor Pokok Wajib Pajak suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami;
  10. Anak belum dewasa yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  11. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;atau
  12. Wajib Pajak badan tertentu selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif (non efektif) yang tidak mempunyai kewajiban Pajak Penghasilan dan secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.
Untuk kondisi-kondisi lainnya selain angka 1 s.d 12 diatas, maka proses penghapusan NPWP nya melalui mekanisme pemeriksaan.

DOKUMEN YANG DISYARATKAN

Permohonan penghapusan NPWP baik yang disampaikan secara elektronik maupun yang disampaikan secara tertulis harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang disyaratkan. Pada permohonan secara elektronik, dokumen-dokumen yang disyaratkan tersebut dapat disampaikan dengan meng-upload softcopy atau mengirimkannya dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen. Apa saja dokumen-dokumen yang disyaratkan, mari kita lihat tabel dibawah ini :
No
Kondisi Penghapusan NPWP
Dokumen Yang Disyaratkan
1
orang pribadi yang meninggal dunia
surat keterangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang berwenang dan surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris
2
orang pribadi yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya
dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
3
bendahara pemerintah
dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak sudah tidak ada lagi kewajiban sebagai bendahara
4
Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu Nomor Pokok Wajib Pajak
surat pernyataan mengenai kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak ganda dan fotokopi semua kartu Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki
5
Wanita kawin yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis dan surat pernyataan tidak membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau surat pernyataan tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami
6
Wajib Pajak badan
dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak badan termasuk bentuk usaha tetap telah dibubarkan sehingga tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, seperti akta pembubaran badan yang telah disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan sedikit :
  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP apabila sudah tidak memenuhi syarat subyektif dan/atau obyektif sebagai Wajib Pajak.
  2. Permohonan penghapusan NPWP dapat diajukan secara elektronik atau permohonan tertulis dengan menggunakan Formulir Permohonan Penghapusan NPWP dan jangan lupa lengkapi permohonannya dengan dokumen-dokumen yang disyaratkan. Formulir Permohonan Penghapusan NPWP dapat diperoleh di KPP atau download dari website www.pajak.go.id.
  3. Untuk kelancaran proses penghapusan NPWP pastikan juga tidak ada utang pajak; tidak ada proses hukum atau proses administrasi berupa pembetulan, gugatan, keberatan, banding, pengurangan/pembatalan, dan peninjauan kembali; dan khusus untuk penghapusan NPWP pusat, pastikan seluruh NPWP cabang telah dihapus.
Demikian coretan kali ini tentang Penghapusan NPWP. Semoga bermanfaat.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...