Sabtu, 14 Desember 2013

SUBJEK PAJAK (PPN)

Subyek pajak dapat didefinisikan secara awam sebagai pihak (bisa Orang Pribadi atau Badan) yang akan melaksanakan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai ini. Meskipun Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak obyektif, tidak bisa dipungkiri pemahaman terhadap siapa subyek pajak Pajak Pertambahan Nilai ini sangat relevan untuk dikuasai.

DASAR HUKUM
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 dan Pasal 3A
  2. Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM.
  3. PMK-68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil.
SUBYEK PAJAK
Apabila kita baca kembali ketentuan Pasal 3A UU PPN yang mengatur mengenai kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta ketentuan yang mengatur mengenai Obyek Pajak PPN yaitu Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D UU PPN, maka subyek pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
  1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  2. Pajak Pertambahan Nilai akan terutang apabila subyek pajak yang melakukan penyerahan adalah Pengusaha Kena Pajak. Hal ini berlaku untuk obyek pajak PPN berupa :
    • Penyerahan BKP di dalam daerah pabean (Pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPN dan Pasal 16D UU PPN)
    • Penyerahan JKP di dalam daerah pabean (Pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPN)
    • Ekspor BKP, Ekspor BKP Tidak Berwujud, dan Ekspor JKP (Pasal 4 ayat 1 huruf f, huruf g, dan huruf h UU PPN)

  3. Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non-PKP)

  4. Pajak Pertambahan Nilai akan tetap terutang walaupun yang melakukan suatu kegiatan yang termasuk sebagai obyek pajak tidak memiliki status sebagai Pengusaha Kena Pajak. hal ini berlaku untuk obyek pajak PPN berupa :
    • Impor BKP
    • Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
    • Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Contoh : PT A (Non-PKP) melakukan penyerahan BKP kepada PT B (PKP) di dalam daerah pabean, maka atas transaksi ini tidak terutang PPN karena meskipun yang diserahkan adalah BKP namun yang melakukan penyerahan bukan PKP.

PENGUSAHA KENA PAJAK
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa subyek pajak PPN dibedakan menjadi PKP dan Non-PKP. Selanjutnya kita perlu mengetahui lebih jauh apa PKP itu ? bagaimana cara memperoleh status sebagai PKP ? siapa saja yang wajib memperoleh/memiliki status sebagai PKP dan apa kewajiban sebagai PKP ? untuk menjawab semua pertanyaan itu, mari kita lihat pasal-pasal yang mengatur mengenai PKP :

Pasal 1 ayat (15) UU PPN
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 1 ayat (14) UU PPN
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
 Pasal 3A ayat (1) UU PPN
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Pasal 1 ayat (1) PMK- 68/PMK.03/2010
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Singkat cerita, status sebagai Pengusaha Kena Pajak merupakan status bagi suatu pengusaha yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui suatu permohonan sendiri oleh si pengusaha atau penetapan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Status sebagai Pengusaha Kena Pajak ini ditandai dengan penerbitan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP).

Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a (Penyerahan BKP di dalam  daerah pabean), huruf c (Penyerahan JKP di dalam daerah pabean), huruf f (Ekspor BKP Berwujud), huruf g (Ekspor BKP Tidak Berwujud), dan huruf h (Ekspor JKP) serta peredaran usahanya dalam satu tahun buku melewati batasan pengusaha kecil wajib mendaftarkan usaha untuk mendapatkan status sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pendaftaran sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setalah bulan saat peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp. 600 juta. Sementara itu pengusaha yang peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya belum melebihi batasan pengusaha kecil pendaftaran untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sifatnya optional/tidak wajib.

Pengusaha Kena Pajak (termasuk pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. pemungutan dilakukan dengan menggunakan Faktur Pajak. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (SPT Masa PPN).

Pengusaha yang peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sudah melebihi batasan pengusaha kecil namun tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai jangka waktu yang ditentukan yaitu paling lama pada akhir bulan berikutnya, akan menemui konsekuensi antara lain sebagai berikut :
  1. DJP dapat melakukan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
  2. DJP dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp. 600 juta. 
Demikian, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar